Minggu, 18 September 2016

                                                   CERPEN - POWER OF PATIENT


BAIQ DWI INTAN•11 SEPTEMBER 2016



                Hasil dari sebuah kesabaran memang tidak selamanya indah, tapi aku beruntung bisa merasakan nikmat dari kesabaranku selama ini..
**
Air matanya terjatuh begitu kalimat sakral itu terucap dari bibir seorang pria yang sedang berjabat tangan dengan Ayahnya. Ia memegang dadanya, merasakan sesuatu meletup-letup di dalam sana. Rasa gugup kembali menyerangnya, saat gorden di depannya terbuka. Ibunya berdiri disana dengan senyuman hangat yang membuat hatinya terasa lebih tenang, mengulurkan tangannya untuk mengantarnya kepada suaminya.
Ah, suami. Rasanya begitu bahagia bisa menyebut kata itu.
Langkah demi langkah, akhirnya dia tiba di hadapan pria itu. Lalu duduk disampingnya dengan status suami-istri. 
Namanya Regina Dwinaya.. Merasa sebagai perempuan paling bahagia pada hari itu.
***
FLASHBACK
5 tahun yang lalu..
"Re, mau ikut beli nasi gak?"
Regina yang sedang berkutat dengan laptopnya menoleh ke arah pintu kamar kosnya. Disana ada Mbak Friska, tetangga sebelah kosnya.
"Nitip aja boleh gak Mbak? Tugas numpuk." keluh Regina. Sebagai mahasiswa baru, tentu ia merasa terbebani dengan tugas-tugas yang mulai menumpuk.
"Yah aku sendirian dong perginya. Ayolah Re, sebentar aja." 
"Yo wis, aku pake jilbab dulu." putus Regina. Tidak tega melihat wajah memelas Mbak Friska jika harus pergi sendiri.
Karena tempat jualan nasi di sekitar kos mereka banyak, mereka hanya perlu jalan kaki untuk mengenyangkan perut. Regina mengajak Mbak Friska belanja di tempat langgannya. Memang, selama ini Mbak Friska jarang membeli nasi karena sering memasak. Beda dengan Regina, baru jalan dua bulan ngekos, ia lebih sering membeli nasi daripada memasak.
"Re, yang jualan cowok ya?" bisik Mbak Friska, menyenggol lengan Regina yang asik menatap ponselnya sehingga tidak sadar kalau mereka ternyata sudah sampai.
Regina mengangkat kepalanya, langsung melihat ke depan.
Deg. Matanya bertubrukan dengan sepasang mata indah milik seorang pria. Ia sampai harus menghirup oksigen se banyak-banyak nya saat pria itu berdiri dari duduknya dan tersenyum hangat padanya. Eh.. Pada Mbak Friska juga.
"Mau beli apa, Mbak?" tanya pria itu ramah. Mendengar suaranya, jantung Regina semakin meledak-ledak.
"Nasinya masih ada, Mas?" 
Bukan, itu bukan jawaban dari Regina. Melainkan dari Mbak Friska yang masih sadar sepenuhnya.
"Masih Mbak, mau pesen berapa?"
"Dua aja Mas, yang 6 ribuan bisa?"
"Bisa, Mbak. Sebentar ya." pria itu tidak lupa memberikan senyum sebelum pergi.
"Lan, ada yang mau beli nasi. Dua bungkus, 6 ribuan." sayup-sayup, suara pria itu masih terdengar.
Tidak lama setelah itu, keluar seorang wanita muda yang langsung tersenyum hangat pada mereka berdua. Wanita muda itu segera membungkuskan nasi untuk mereka.
"Ini mbak, makasi ya." ucap wanita muda itu setelah menyerahkan bungkusan nasi kepada Mbak Friska. Sementara Regina memberikan uang pembayarannya. "Sekarang disini juga jual jus loh Mbak, sama roti bakar dan kentang goreng juga. Tapi khusus sampe jam 6 sore." 
Regina maupun Mbak Friska hanya menanggapi dengan senyum. Kemudian mereka pamit pergi.
Seandainya malam itu Regina memilih hanya berkutat dengan laptopnya, dia tidak akan pernah tau bagaimana pertemuan pertamanya dengan pria itu bisa terjadi.
*
Siang hari yang terik, Regina mengipas-ngipas dengan menggunakan buku. 
Matahari begitu menyengat, membuatnya enggan keluar dari kamar kosnya. Tapi begitu melihat ke samping, ia menghela nafas. Tiara, teman sekelasnya di kampus yang ikut pulang ke kosannya karena sejam lagi mereka harus kembali ke kampus. Gadis itu berbaring di kasurnya, Regina jadi tidak tega membuat lapar anak orang.
"Ra, mau dibeliin apa? Makan dulu yuk." ajak Regina seraya menepuk-nepuk pundak Tiara.
"Hmm," gumam Tiara yang setengah sadar, "apa aja kalo orang laper mah."
Regina meraih cardigan dibalik pintu dan jilbab langsung pakai yang tergeletak di meja belajarnya. Pergi sendiri tidak apa-apa lah, kasihan Tiara yang katanya begadang semalam demi mengerjakan tugas. Jadinya tidak sempat istirahat.
Tujuan Regina satu-satunya ya tempat langganannya. Bukan bermaksud modus. Ia sudah sering ke tempat itu, tapi baru menemukan adanya spesies tampan.
Rabu kemarin, Regina membeli roti bakar disana tapi tidak menemukan adanya pria itu. 
Langkah Regina memelan begitu akan sampai di tempat itu.
Pria itu disana, sedang duduk di salah satu kursi untuk pembeli. Menunduk fokus pada ponselnya.
Regina mengedarkan pandangan, mencari orang yang bisa ditanyai selain pria itu. Nihil, hanya ada dia dan pria itu.
"Ehm," dehem Regina menunggu pria itu mengalihkan fokusnya pada ponsel.
Pria itu langsung mendongak, memutar pandangan mencari pemilik suara deheman itu.
"Eh Mbak, mau belanja?" ia langsung berdiri.
"Iya Mas, mbak yang jualannya kemana yah?" syukur Regina masih bisa menjaga nada suaranya tetap pada semula, tidak sampai bergetar karena gugup.
"Waduh, kebetulan lagi keluar sebentar." pria itu menggaruk tengkuknya, "Mau nunggu dengan hasilnya yang udah pasti bagus atau saya yang layanin tapi hasilnya hancur?" 
Ternyata pria itu bisa bercanda juga. Regina menahan senyumnya, gemas melihat wajah piat itu yang tersenyum malu-malu karena candaannya sendiri.
"Hehehe, nunggu aja."
Kemudian pria itu menarik salah satu kursi yang paling dekat dari tempat Regina berdiri, "Monggo mbak, duduk dulu."
So sweet. Hati Regina menghangat melihat perlakuan dari pria itu. Dasar hati norak.
Belum lama Regina duduk, wanita muda pemilik tempat itu datang bersama anak kecil cantik yang berumur sekitar satu tahun di gendongannya.
Pria tadi langsung menghampiri, mengambil si kecil dari gendongan wanita muda yang Regina tau bernama Wulan itu. 
Jadi karena sering membeli disini, sedikit sedikit ia mengobrol dengan Mbak Wulan sehingga mereka bisa saling mengenal. 
"Regina kan? Udah lama nunggunya?" Regina sedikit kaget dan langsung menoleh pada Wulan, sejak tadi ia terpaku mengamati interaksi pria itu dengan si kecil yang berada di gendongannya. 
"Baru aja kok Mbak Wulan." jawab Regina tersenyum canggung.
"Lan, aku masuk ya. Mari mbak." 
Sementara Wulan mengangguk dan tersenyum, Regina masih terpaku.
Pikirannya berkenala.. Mungkinkah pria itu suami Mbak Wulan?
*
Alih-alih berhenti memikirkan suami orang, Regina malah terus terpikirkan oleh asumsinya sendiri.
Payah. Ia terlalu mudah jatuh cinta dan terlalu cepat patah hati.
Sekilas, memang Mbak Wulan dan pria itu terlihat hangat jika bersama. Mereka terlihat serasi. Pikiran itu melukai bagian dari hati Regina.
Bagaimana mungkin ia bisa jatuh hati pada pria yang baru ditemuinya dua kali?
Daripada terus terpaku memikirkan satu orang yang sudah bahagia dengan hidupnya, Regina merobek kertas yang sudah dibubuhi pena itu. Daftar belanja bulanan yang harus dibelinya untuk kebutuhan hidup. 
Regina sudah tahu kemana ia harus pergi. Sebuah minimarket yang terletak tidak jauh dari kosannya, selalu ramai pengunjung karena terkenal lebih murah dibanding tempat perbelanjaan lainnya.
Malas berjalan kaki, Regina memilih menggunakan motor. Meskipun motornya akhir-akhir ini sering ngadat dan membuatnya repot, yah di-bismillah-kan saja. 
Biasanya Regina akan mengajak salah satu teman kosnya, tapi sekarang, sendiri pun tidak apa.
Begitu sampai, Regina langsung meraih keranjang belanjaan dan menuju rak-rak khusus kebutuhan untuk mandi. Mengambil odol, sikat gigi, sabun, dan shampo. 
Kemudian ia beranjak menuju rak-rak khusus makanan, mengambil beberapa chips, biskuit, wafer, dan lainnya yang dirasanya ia butuhkan.
Regina sedang memilih-milih merk saos yang akan dibelinya, saat seseorang disampingnya berdehem.
Jantung Regina rasanya langsung berdetak menggila, hanya karena suara itu.
"Mbak, beli apa?" tegurnya setelah menebar senyum hangat yang selalu menjadi favorit untuk Regina.
Astagfirullah Re, ngucap. Kamu sedang mengagumi suami orang. Bagian hatinya mengingatkan akan hal itu.
"Eh, ini.. Lagi belanja bulanan. Mas sendiri beli apa?" Regina bertanya balik sambil melirik keranjang belanjaan pria itu.
"Biasa, beli keperluan buat di warung. Wulan lagi ada acara, jadinya saya deh yang disuruh belanjain." pria itu terkekeh, "Oh iya, kita belum kenalan ya?"
Pria itu menyodorkan tangannya. Sebelum menjabatnya, Regina menatap gugup tangan kokoh yang ternyata sangat pas dan hangat dalam genggamannya.
"Regina."
"Randa."
Regina merasa kehilang saat tangan pria itu tidak lagi menggenggamnya.
Tidak mau berlarut-larut dan jatuh terlalu dalam pada seorang pria yang sudah memiliki istri, Regina yang merasa belanjaannya sudah cukup segera pamit. Sementara Randa harus mencari bahan lainnya, seperti roti, selai, susu milk, dan lain-lain.
Rupaya dewi fortuna sedang tidak berpihak padanya, motor Regina tidak bisa menyala dan ia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa.
Melihat sekeliling, Regina memanggil tukang parkir yang terlihat malas-malasan dan sedang duduk santai di pinggiran mini market. Bukannya langsung mendekat, tukang parkir itu terlihat cuek dan enggan membantunya.
Dasar, seharusnya kan peran seorang tukang parkir itu tidak hanya menjaga motor, tapi juga membantu para pengunjung jika memiliki masalah dengan motornya.
"Regina, kok belum pulang?" suara itu menyapanya lagi. 
Regina tidak langsung menjawab. Haruskah ia jujur? Mungkin Randa bisa membantunya.
"Iya Mas Randa, motor saya gak bisa nyala. Minta bantuan sama tukang parkir, malah dicuekin." adu Regina seperti anak kecil yang dicuri mainannya. 
Randa hanya tersenyum kecil, "Coba saya cek dulu ya Re," pria itu duduk berjongkok, entah memeriksa apa.
"Kira kira itu kenapa ya?" tanya Regina setelah Randa kembali berdiri.
"Biasa, masalah gusi. Udah gak bisa nyala ini Re, harus dibawa ke bengkel." jelas Randa yang membuat Regina melemas.
Jadi maksudnya, Regina harus menenteng motornya ke bengkel dan pulang dengan berjalan kaki?
"Kamu mau percaya sama saya gak Re? Motor kamu biarin disini aja, nanti biar saya yang bawa ke bengkel." ucap Randa, "Dan kalo kamu bersedia, saya bisa nganterin kamu pulang."
"Beneran Mas?!" tanya Regina girang, "Makasih banget ya. Eh tapi nggak papa sama Mbak Wulan kalo Mas boncengin saya?"
Aduh. Regina langsung menutup mulutnya. Kenapa pertanyaan bodoh itu bisa keluar dari mulutnya!
Randa terlihat melongo, "Ya nggak papa. Emang Wulan kenapa?"
"Hehe. Gak papa kok Mas, lupain aja."
Saat dibonceng Randa, Regina tidak berani berpegangan pada pinggang maupun pundak pria itu. Ia menumpu tangannya pada besi di bagian belakang motor.
"Mas Randa, berentinya di warung aja. Saya mau beli nasi, nanti balik ke kosannya jalan kaki aja." Ucap Regina saat mereka sudah dekat dengan warung.
"Oh, oke."
Di warung, ternyata ada Wulan yang terlihat baru datang juga. Bersama putri kecilnya kemarin, dan seorang pria dewasa berkacamata yang masih terlihat muda.
"Eh Ran, ketemu dimana sama Regina?" tegur Wulan setelah mereka turun dari atas motor.
"Mini market. Nih belanjaannya." Wulan meraih dua kantong plastik ukuran besar yang disodorkan Randa dan memeriksanya.
"Mm oke, ini udah bener." Kemudian Wulan beralih menatap Regina, "Mau beli nasi Re?"
"Hehe, iya mbak. Udah buka kan?"
"Udah, tapi dipanasin bentar ya nasinya." Wulan melirik belanjaan Regina, "Nanti ke kos mau jalan kaki Re? Emang kuat dengan belanjaan sebanyak itu? Dianterin Randa aja ya."
"Eh, gak usah Mbak. Ngerepotin." tolak Regina dengan nada suara sehalus mungkin.
"Gak ngerepotin kok. Ran, anterin ya."
"Iya. Tapi mau mandi dulu ya bentar." jawab Randa, kemudian berdiri dan masuk ke dalam rumah.
"Lan, aku mau balik ke kantor ya." pria berkacamata tadi menghampiri mereka dan menyodorkan anak kecil yang sedang digendongnya pada Wulan.
Dengan sedikit repot, Wulan mengambil putri kecilnya dari gendongan pria itu. Kemudian menyalami pria itu dan tersenyum hangat. 
"Hati-hati, Mas."
Loh? Regina mulai berpikir keras.
"Suami mbak polisi Re, jadi ya gitu harus siap dipanggil kapan aja." Regina terkesiap mendengar cerita Wulan. Wanita muda itu memang sering bercerita dengan sendirinya.
Suami? 
"loh, jadi itu suaminya Mbak Wulan? Lah Mas Randa?" tanya Regina beruntun, seperti orang bodoh.
"Randa?" kemudian tawa Wulan berderai, "ahahaha. Jadi selama ini kamu ngiranya Randa suami Mbak? Yaampun, dia itu adiknya Mbak. Masih kuliah semester 7. Emang kita gak mirip?"
Dan Regina merasa harus bersembunyi di goa secepatnya. Ia merasa sangat malu. 
Aduh, mau ditaruh dimana lagi mukanya?
Selesai Randa mandi, Regina tidak berani melihat mata pria itu. Bahkan saat mengucapkan terima kasih karena sudah diantar sampai kos, Regina masih tidak berani menatapnya. Hanya menunduk karena terlalu malu sudah salah paham.
Randa memang terlihat lebih muda dari Wulan, tapi Regina tidak berpikir kalau ternyata pria itu masih kuliah dan sedang berada di semester akhir.
**
3 tahun yang lalu..
Sudah dua tahun Regina menjadi pelanggan tetap di warung milik Wulan yang sekarang sudah berkembang menjadi cafe kecil-kecilan.
Kadang, Regina bisa seharian berada di cafe, untuk mengenyangkan perut dan sekalian mengerjakan tugas kuliah. Sekarang di cafe milik Wulan juga tersedia free wifi. Karena fasilitas itu juga, cafe Wulan lebih ramai dari biasanya.
Tentang Randa, Regina hanya bertemu cowok itu beberapa kali dalam seminggu. Hampir setahun yang lalu, beberapa bulan setelah wisuda, Randa langsung mendapat pekerjaan sebagai IT programmer di salah satu perusahaan swasta yang tidak jauh, namun tidak dekat juga dari rumah sekaligus cafe Wulan.
Mereka cukup akrab. Hanya sering mengobrol dan melempar senyum. Tidak lebih dari itu.
Tidak ada kencan buta di malam minggu, chatting sampai larut malam, saling melempar perhatian, dan segala hal yang bisa disebut spesial. 
Hubungan mereka hanya sebatas itu. Tidak menjadi teman dekat, tidak juga menjadi seperti kakak-adik. Apalagi sampai ke tahap pacaran. 
Huh, Regina tidak mau kebanyakan bermimpi. Satu-satunya tujuannya saat ini ya fokus kuliah sehingga bisa mencapai gelar Sarjana Ekonomi dengan predikat cumlaude dalam kelulusannya nanti.
Sore ini, Regina datang lagi ke Cafe. Pengunjung sudah mulai lengang, dan mungkin akan ramai lagi pada nanti malam. Maklum, malam minggu selalu menjadi malam yang paling ramai pengunjung.
Kebetulan sekali. Randa sedang berada disana, menjadi barista dadakan. Mungkin karena Lian, salah satu pegawai yang biasanya piket sekarang sedang tidak masuk.
"Hei, Re, mau pesen apa?" tanya Randa ramah. Masih sering menebar senyum, tidak sadar bahwa senyumnya serupa racun bagi para kaum hawa.
"American ice coffe sama risolesnya satu porsi ya, Mas Randa."
"Oke. Ditunggu ya." Randa menyodorkan kertas berisi id dan password wifi cafe. 
Regina menerimanya dan langsung berbalik mencari tempat duduk yang biasanya dia duduki.
Sekalian mengantar pesanan Regina, Randa malah langsung duduk di hadapan gadis itu. Membuat Regina sedikit terkejut.
"Lagi ngerjain apa, Re?" tanya Randa, penasaran melihat Regina langsung berkutat dengan laptop nya.
"Biasa, makalah. Tiada hari tanpa tugas." curhat Regina, "Mas gak kerja?"
"Nggak. Orang-orang se-divisi lagi pada ke luar kota, jadi kantor sepi."
"Mas sendiri kenapa gak ikut ke luar kota?"
"Maunya sih gitu. Tapi sama Ibu negara gak dikasih izin." 
"Ibu negara?" tanya Regina otomatis.
Belum sempat Randa menjawab, datang seorang wanita yang kira-kira seumuran Randa menghampiri mereka.
"Yang, aku cariin dari tadi juga. Ternyata disini."
Sesuatu telah merobek hati Regina. Menghancurkannya dengan begitu kejam saat mendengar potongan panggilan dari wanita muda itu.
"Eh, kamu disini?" Randa langsung berdiri dan merangkul pinggang wanita muda itu, "Re, kenalin, Anita. Pacar gue." 
Mata Regina memanas. Ia merasa ada batu tertahan di kerongkongannya.
Tidak, ia tidak boleh terlihat lemah. Hei hati, terimalah bahwa dia tidak memiliki rasa yang sama!
"Hai, aku Anita."
"Regina." shit. Suaranya bergetar. Wajar, karena ia sedang mati-matian menahan tangisan konyolnya yang berontak ingin segera keluar. "aduh, gue kebelet pipis. Bentar ya Mas Randa, Mbak Anita."
Setelah memastikan toilet benar-benar terkunci, Regina mematung dan sedang berusaha menahan emosinya yang meluap-luap.
Pada akhirnya, ia hanya bisa menangis seperti orang bodoh.
Hatinya ternyata masih tetap payah. Bertahan pada satu orang yang sama. Orang yang memang tidak pernah memberinya harapan. Ia yang terlalu naif dan bodoh untuk tetap menggantungkan harapan pada pria itu.
Ini adalah patah hati pertama yang paling menyakitkan bagi Regina.
**
Satu tahun yang lalu..
Regina menatap pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat lebih beda dengan polesan make up dan hijab modern dari salon yang sudah dibookingnya dari jauh-jauh hari untuk acara wisudanya.
Ya, hanya tinggal menghitung jam sampai Regina bisa meraih gelar Sarjana Ekonomi.
Orangtuanya sudah datang dari 3 hari yang lalu. Rasanya sangat bangga dan bahagia karena kedua orangtuanya bisa menyaksikan prosesi wisudanya, melihat secara langsung bagaimana Regina diberikan penghargaan karena berhasil lulus dengan predikat cumlaude atau lulus dengan pujian.
Sampai saat ini, Regina juga tidak menyangka bisa mewujudkan mimpinya untuk lulus dengan nilai terbaik yang membuatnya langsung direkrut oleh Bank Indonesia.
Keluar dari aula gedung tempat acara wisuda berlangsung, Regina langsung mendapat sambutan dari para sepupu dan sahabat-sahabatnya yang ikut datang ke tempat acara wisuda untuk memberinya upacan selamat dan mengajaknya berfoto-foto.
"Regina.."
Tubuh Regina mematung mendengar suara yang sudah cukup lama tidak didengarnya.
Sejak saat patah hati itu, Regina lebih banyak menghindar dari Randa. Ia akan berinteraksi dengan Randa jika memang benar-benar perlu. Dan juga, sudah satu tahun lebih mereka tidak bertemu. 
Bodohnya, hati Regina masih terpaku pada pria itu. Ia masih sabar menanti saat-saat dimana ia bisa bertemu Randa.
Sungguh, ia benar-benar merindukan pria itu.
Tapi, melihat wanita yang berdiri tidak jauh dari Randa, bagian hati Regina mengingatkan agar ia harus terlihat tegar dan sangat bahagia.
"Hai Mas Randa, kok bisa disini?" sapanya hanya untuk berbasa-basi.
"Ini.. Sepupunya Anita juga diwisuda," jawab Randa yang entah kenapa terdengar kikuk, "Selamat ya, Regina. Akhirnya sarjana juga. Selamat juga karena berhasil lulus dengan pujian."
Saat menjabat tangan itu setelah sekian lama, rasanya masih tetap sama. Hangat dan nyaman dalam genggamannya.
Dan saat Anita datang dengan senyum ramahnya.. Regina merasa menjadi wanita antagonis karena ada bagian hatinya yang ingin menjambak Anita karena merusak momennya dengan Randa.
"Mas, duluan ya. Ada yang udah nunggu." ucap Regina setelah mendapat keberanian entah dari mana. 
Ia bahkan tidak melirik Anita. Persis seperti orang yang sedang cemburu.
Kemudian ia meraih lengan Gilang, sahabatnya sejak awal kuliah dan langsung memeluk pria itu. 
"Biarin gini sebentar Gil, gue capek." lirih Regina. Air mata sialan itu mengalir dengan sendirinya.
Seharusnya, di hari paling bahagia ini, Regina tidak boleh menginjinkan air mata kesedihan mengalir dari matanya. Seharusnya, hanya boleh ada air mata terharu karena bahagia.
Tapi, hanya karena pria tidak berharga bernama Randa Trian Wijaya, ia menjadi wanita yang tidak berharga dan sangat tolol. 
**
2 bulan yang lalu..
Regina sedang sibuk di Bank saat Ibunya terus-terusan menelpon. Hari ini banyak sekali nasabah yang datang, tapi ibunya terus mendesaknya agar segera pulang. 
"Ini penting sekali ndhuk, menyangkut hidupmu ke depannya. Ayah dan Ibu ndhak mau salah langkah. Jadi sebaiknya kamu pulang saja toh." begitu kira-kira ucapan mendesak ibunya via telepon.
Regina menyerah, ia meminta salah satu temannya untuk menggantikannya, beralasan ada acara keluarga yang sangat penting dan tidak bisa ditinggalkan.
*
"Mas Randa.." gumam Regina, jantungnya serasa akan loncat keluar melihat pria itu duduk di ruang tamu rumahnya, diapit sepasang orangtua yang Regina kenali sebagai Ayah dan Ibu dari Randa.
Tubuhnya terasa kaku saat Bu Winda, Ibu Randa memeluknya. Dulu orangtua Randa memang sering berkunjung ke rumah Wulan, Wulan juga sempat mengenalkan Regina kepada orangtuanya.
"Tante bener-bener gak nyangka, kalau kamu yang akhirnya akan menjadi menantu Tante."
Menantu.. Otomatis mata Regina langsung mencap pada sepasang mata yang menatapnya dengan... Penuh kerinduan? Regina merasa dalam mata itu, Randa menyimpan banyak hal yang tidak pernah tersampaikan.
"Ma, aku mau ngomong sama Regina sebentar."
Tepat sekali, Regina juga tidak sabar untuk mencaci maki pria itu. Jadi saat Randa memberi kode untuk mengobrol di luar, ia langsung melangkah lebih dulu.
"Maksud kamu itu apa sih Mas?!" Regina tidak tahan untuk tidak menyemprot Randa secepatnya, "Selama ini kamu gak pernah ngomong apapun, setahun kita gak ketemu dan kamu tiba-tiba ngelamar? Konyol!" maki Regina.
Randa masih tetap percaya diri menatap tepat di manik mata Regina, "Re, aku tau semua hal yang aku lakuin ke kamu itu keterlaluan. Saat aku berpikir untuk jelasin semuanya, kamu gak pernah kasih kesempatan."
"Maksud Mas?"
"Tentang Anita.. Dia gak pernah ada disini." Randa menunjuk dadanya, "Aku gak tau harus gimana untuk bisa menjadikan kamu milikku, sebelum orang lain memiliki kamu. Tapi bodohnya, aku pake cara yang salah. Anita sahabat aku Re, dia cuma bantuin aku untuk tau gimana perasaan kamu ke aku. Tapi bukannya dapet jawaban, kamu malah ngejauh. Dan waktu kamu wisuda, aku ngerasa tolol banget. Untuk kedua kalinya, aku malah menggoreskan luka yang semakin dalam untuk kamu. Kamu gak tau Re, gimana tanganku udah mengepal pengen nonjok laki-laki yang kamu peluk waktu itu. Setelah itu, aku kehilangan nyali untuk muncul di hadapan kamu. Tapi aku sadar, gak mungkin aku jadi pengecut terus-terusan, dan sekarang disinilah aku. Satu yang perlu kamu tau, sampai kapanpun, aku akan berjuang disini sampai lamaranku diterima."
Regina menghela nafasnya yang tiba-tiba memburu. Rasa kesal, kecewa, dan bahagia bercampur menjadi satu.
"Bodoh!" Regina memukul-mukul dada Randa sambil menangis tersedu-sedu, "Kamu laki-laki paling jahat, pengecut!"
"Iya Re, Iya. Pukul aku sampe kamu merasa puas, caci maki aku sampe kamu merasa lebih baik. Aku terima semuanya."
Bukannya melakukan itu, Regina malah berangsur memeluk Randa. Menghirup aroma yang selama ini hanya menjadi ilusi baginya.
"Will you marry me?" bisik Randa di tengah pelukan mereka.
Ia merasa begitu lega saat Regina mengangguk dalam pelukannya.
**
Kesabaran itu adalah kunci utama dari sebuah penantian yang berakhir indah. Tidak penting berapa lama mereka harus menunggu untuk menciptakan waktu yang tepat, karena yang terpenting adalah saling menjaga perasaan dan saling mendoakan supaya Tuhan memberi jalan keluar.
FLASHBACK OFF
                                                            
                                                                   THE END.

Penulis Cantik 


0 komentar:

Posting Komentar

 

Jingga & Pena Kecil Published @ 2014 by Ipietoon